Menuju Pesantren Bahasa
HIDAYATUNA.COM – Secara simplistis, siapa pun akan sangat cepat menganggap bahwa pesantren adalah suatu entitas di mana pelajaran agama menjadi hal penting. Siapa pun tidak perlu bepikir lama untuk membuat kesimpulan bahwa pelajaran agama adalah nomor satu di dunia pesantren.
Hal tersebut adalah benar dan selaras dengan apa yang sudah turun-temurun dipahami. Yakni, sebuah pemahaman akan pesantren yang selalu dikaitkan—dikait-kaitkan—dengan agama.
Di sini saya akan sedikit memberi sebuah pandang yang, meski tidak baru, patut untuk selalu disuarakan. Sebab, ini juga merupakan salah satu jalan dari sekian banyak jalan agar pesantren mampu bersaing secara global.
Kita sekarang juga sudah mafhum telah menginjak di mana batas dilipat, jarak hanyalah omong kosong belaka. Tidak ada jarak hari ini, sebab teknologi sudah menghapus itu semua. Maka, ketika tidak ada jarak yang memanjang di hadapan kita(sebagai santri utamanya), ada banyak kemungkinan yang akan terjadi.
Pertama, kita akan berintraksi dengan orang-orang di luar lingkaran yang biasa. Orang-orang baru sudah menanti kita dan tentu juga beserta intraksi yang baru pula. Interaksi yang baru itu akan melahirkan sebuah gagasan-gagasan baru.
***
Santri, mau tidak mau, dituntut untuk bisa melakukan sebuah usaha selektif terhadap hal baru itu. Namun, sebelum itu ada satu hal yang harus dipersiapkan sebagai formasi kita untuk menghadapi gagasan-gagasan baru dan asing.
Senjata tersebut tidak lain adalah bahasa, bahasa apa pun. Tidak secara spesifik menyebut satu bahasa dan kemudian meninggalkan bahasa yang lain. Di era tanpa tabir ini, bahasa akan sangat menentukan bagi kita. Namun, sebagai permulaan mari kita ambil dua bahasa—yang mungkin akan sangat erat kaitannya dengan dunia pesantren.
Selain bahasa Indonesia, yakni bahasa Inggris dan Arab. Dua bahasa ini yang saya kira akan sangat kental kelindannya dengan dunia pesantren. Bahasa Arab disebabkan literatur pesantren berbahasa itu, dan bahasa Inggris sebagai bahasa yang akan menjadi penopang, atau bahkan sebaliknya. Maksudnya, bahasa Non-Arab menjadi hal yang sangat pokok.
Dua bahasa itu yang hari ini lumayan melahirkan literatur-literatur berkualitas. Patut dicatat, di sini tidak hendak mengesampingkan literatur non-Arab dan Inggris.
Tetapi, karena dua bahasa tersebut yang lumayan mendominasi di dunia, tidak hanya mendominasi tetapi barangkali bisa menjadi pelindung pesantren di dunia baru. Maka, gagasan saya di sini hendak membangkitkan kembali gairah pesantren terhadap bahasa, bahasa apapun secara universal.
***
Kita sudah memulai membahas dari dua bahasa di atas. Jika semisal(sebagai control) ada pesantren yang berani mengajarkan bahasa Mandirin—yang hari ini paling banyak diminati nomor dua—hal tersebut adalah pencapaian baru. Artinya, ada kesadaran yang teramat dalam di situ dari para pembesar pesentren.
Hal tersebut juga sebagai pembuktian bahwa pesantren memang fleksibel dan mampu mengikuti arus zaman. Sekali lagi, meski gagasan ini tidak baru namun penting untuk dicatat dan terus diulang-ulang. Perang kita adalah perang bahasa(baca: wacana).
Maka mempelajari bahasa bagi kaum santri akan sangat membantu dan turut memberi kesan efektif dalam dunia pertarungan. Dengan begitu pula, gagasan-gagasan kita tidak hanya didengar oleh orang berbahasa sejenis, melainkan lebih luas.
Bukan hal mustahil jika gagasan dari salah satu santri akan mengisi ruang dengan bahasa non-Indonesia. Hal tersebut merupakan salah satu pencapaian yang luar biasa. Maka, penting untuk memulai dan membuka jalan.
Itu juga sebagai sebuah upaya agar pesantren bisa menjadi wadah bagi segala macam kepakaran. Kita tidak bisa terus-terusan membiarkan santri belajar bahasa di luar lembaga pendidikan non-pesantren. Bukannya kita juga mampu untuk mengajarkan macam bahasa?
Tinggal persiapkan pendidik dan sistem yang cukup mapan. Saya paham persiapan itu tidak semudah membalik tangan. Namun, juga bisa diusahakan pelan-pelan dan berangsur. Ini juga termasuk untuk memaksimalkan peran pesantren hari ini.
Patut diakui bahwa pesantren tidak akan terus-menerus bergelut dengan hukum-hukum agama. Pelan-pelan ia akan mengalami pelebaran jalan dan cakupan. Mencakup segalanya, tentu saja. Sesudah itu terencana, baru kita bisa teriak “dari pesantren untuk dunia”.