8 Tips Pengasuhan Anak yang Setara ala Ester Lianawati
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Beberapa tahun yang lalu, saya melihat ada anak laki-laki yang menangis histeris di kolam renang karena pengasuhnya membawa baju ganti berwarna pink.
Dia tidak mau memakai baju itu, karena teman laki-lakinya yang lain menertawakannya sambil berkata bahwa baju berwarna pink adalah baju untuk perempuan.
Alhasil anak tersebut memilih untuk tidak pakai baju, padahal dia sudah menggigil kedinginan.
Pemandangan seperti ini mungkin sudah sering kita temui di sekitar kita. Dalam pengasuhan anak di keluarga kita misalnya, orang tua akan memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan secara berbeda, salah satunya dalam memberikan pilihan mainan.
Anak laki-laki akan secara otomatis diperkenalkan dengan mainan yang sifatnya banyak gerak dan “garang” misalnya mobil, pesawat terbang, dinosaurus, robot atau yang lainnya.
Sebaliknya, anak perempuan sejak lahir sudah dikontruksi sebagai ibu dan pelayan, sehingga dia akan diberikan pilihan mainan yang berhubungan dengan pekerjaan domestik, seperti boneka, alat masak-masakan, rumah-rumahan, alat kecantikan dan perkakas rumah tangga.
Pengasuhan seperti ini, menurut Ester Lianawati dalam buku Akhir Pejantanan Dunia bisa mengakibatkan anak laki-laki dan perempuan selamanya menjadi pribadi yang berbeda.
Laki-laki sebagai manusia yang punya kebebasan dan kuat, perempuan manusia yang tertindas dan tidak merdeka.
Dengan begitu, menurut Ester setiap orang tua sudah saatnya untuk menerapkan pengasuhan feminis, atau di Prancis biasa disebut dengan pengasuhan yang setara. Prinsip dalam pengasuhan ini ialah mengembalikan pilihan apapun pada anak.
Sebab sangat penting untuk mengajarkan anak laki-laki untuk berani menampilkan emosi, empati, perasaan dan kepeduliannya.
Supaya dia tidak terjebak dalam “krisis” kejantanan akibat selalu dituntut jadi jagoan.
Dengan cara pengasuhan seperti ini, anak laki-laki tidak akan merasa malu jika dia ingin menangis karena jatuh, sakit atau lainnya.
Dia juga tidak malu untuk berteman dan mempunyai rasa kepedulian pada anak perempuan.
Di sisi lain juga sangat penting mengajarkan pada anak perempuan bukan untuk mendapatkan laki-laki yang mapan dan tegap untuk menjamin kebutuhannya.
Tetapi sampaikan pada dia bahwa perempuan bisa mandiri dan mampu melindungi dirinya sendiri, punya suami ataupun tidak.
Sejalan dengan itu, Ester juga memberikan delapan tips pengasuhan setara yang sifatnya tidak membatasi.
Pertama, dunia tidak dikotomis. Warna bukan hanya biru dan merah jambu tapi mejikuhibiniu (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu), dengan semua gradasi ini jadilah orang tua yang kreatif, seperti memilihkan pakaian anak dengan pilihan warna-warna ini, bukan biru atau merah jambu saja.
Sebab dunia pada dasarnya tidak bergender. Tidak ada warna perempuan dan warna laki-laki.
Kedua, prinsip menawarkan, tidak menyensor serta menambahkan, bukan menghilangkan.
Anak harus diperkenalkan pada segala bentuk permainan yang menstimulasinya secara kognitif, psikologis, dan sosial.
Selalu tawarkan beragaman permainan pada anak, apapun jenis kelaminnya. Jadi permainan yang dipilih oleh anak laki-laki dan perempuan bukan atas dasar paksaan atau pemberian orang tua, tapi atas dasar pilihannya sendiri.
Ketiga¸ girl things (semua yang dilekatkan pada perempuan) itu seru dan asik. Orang tua hendaknya mengajarkan pada anak laki-laki bahwa semua yang “berbau” perempuan, semua yang dilekatkan pada anak perempuan itu tidak buruk, tidak lebih rendah, tetapi justru seru dan menyenangkan. Seperti mainan, bacaan, film, musik, dan sebagainya.
Sedari kecil orang tua bisa membacakan anak laki-lakinya tentang kisah-kisah anak perempuan, sejarah tokoh perempuan, ajak ia untuk menonton film-film anak perempuan dan jangan ragu untuk menawarkan ia untuk memilih warna merah jambu, baik pakaian atau barang lainnya.
Keempat, izinkan anak untuk berkoneksi (kembali) dengan emosinya, bagi anak laki-laki ataupun perempuan yang selama ini mungkin sudah dijauhkan dari emosi.
Izinkan dia menangis meski ia anak laki-laki dan berikan ia pelukan dan kelembutan yang menghangatkan jiwa.
Katakan dan tunjukan kasih sayang kita pada anak laki-laki dan perempuan. karena penting bagi keduanya tahu bahwa ia dicintai.
Kelima, menunjukan empati bukan mendominasi. Empati adalah nilai kemanusiaan yang saat ini dilekatkan hanya milik perempuan.
Padahal kemampuan empati bisa dilatih dan dikembangkan, baik pada anak perempuan maupun laki-laki.
Jika anak laki-laki sudah berkoneksi (kembali) pada emosinya, perlahan ia akan mampu mengembangkan kemampuan berempati.
Dalam proses menumbuhkan rasa empati pada anak laki-laki bisa dimulai dengan permainan peran dengan boneka.
Tetapi jika ia menolak, mulailah secara perlahan seperti dengan mendudukan bonek kecil dalam mobil atau pesawat terbangnya.
Atau bisa juga dengan melibatkan ayah untuk mengajak anak laki-lakinya bermain boneka.
Keenam, mengembangkan harga diri anak. Dalam hal ini orang tua harus peka dengan potensi, bakat, minat, kelebihan dan kekurangan anak.
Fokus pada hal-hal yang ditampilakan anak sehari-hari, bukan pada skor IQ yang diperoleh dari pengukuran orang lain.
Jangan menunggu anak menjadi juara di kelas atau memenangkan kompetisi untuk memujinya.
Tapi ekspresikan penghargaan kita sebagai orang tua pada hal-hal postif yang ia lakukan dalam kesehariannya.
Ketujuh, mengenal, memiliki, menghargai dan mengajarkan konsen pada tubuh anak. Ajarkan pada anak untuk mengenal tubuhnya dengan menyebutkan nama organ apa adanya tanpa perlu dibuatkan nama lain, termasuk penyebutan alat kelamin.
Ajarkan pada anak bahwa tubuhnya miliknya, tidak seorang pun boleh menyentuhnya kecuali dirinya.
Penting juga mengajarkan anak bahwa ia tidak wajib menerima dan memberi pelukan atau ciuman jika memang tidak menginginkannya dan tidak merasa nyaman dengan itu.
Kedelapan, asah pikiran kritis anak terutama untuk meragukan segala sesuatu yang bersifat dari sananya. Hal ini sangat diperlukan sebab meski dalam keluarga diberi pengasuhan feminis, sebagian besar masyarakat masih belum berubah dan tidak bis akita kontrol.
Sehingga orang tua mesti mempersenjatai anak dengan membangun pikiran yang kritis dan terbuka. []