4 Dasar Epistemologi Nalar Islam Menurut Gus Baha

 4 Dasar Epistemologi Nalar Islam Menurut Gus Baha

Istri Gus Baha bukan orang sembarangan (Ilust/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Gus Baha mengatakan agama Islam harus dibawa secara menyenangkan agar Islam membawa keceriaan hati. Keceriaan sosial. “Nabi paling marah jika suatu inspirasi menjadi masalah,” kata Kyai yang selalu berpenampilan khas ini.

Menurut Gus Baha, ini juga menjadi pesan almarhum. “Saya masih ingat wasiat Bapak. ‘Ha, kalau kamu ngajar atau berdakwah, guyon saja. Sebab orang yang sedang ngaji itu sudah dibebani banyak hal; punya hutang, takut isteri dan lainnya. Jangan membuat mereka menangis kedua kalinya. Di rumah sudah punya masalah, ternyata di pengajian kembalinya masalah baru, yaitu ditakut-takuti siksa oleh ustaznya. Ini namanya membuat kesedihan dan tangis kedua kali, “jelasnya.

Ada empat hal, kata Gus Baha, dasar tentang epistemologi nalar Islam ceria itu.

Berdasar QS al-Najm: 43

Potongan ayat adlhaka (tawa) wa abka (tangis) adalah ajaran normatif agar kita memilih berdakwah dengan penuh keceriaan, sebab semua sifat-sifat Allah itu pasti aktif, efektif dan efesien. Nafidzah wa mu’atstsirah.

Menurut Gus Baha, karena itu, kesalahan ulama dahulu menghindari perilaku formal, serius dan detail. Malah, mereka justru tampil di publik dengan cara guyon, bercanda dan ngelucu.

Potongan ayat adhaka wa abka (tertawa dan menangis), diinterpretasikan Gus Baha sebagai justifikasi kaifiyah mu’amalah dengan Allah yang adlhak (guyon). Artinya, ayat ini tuntunan pada kita agar secara vertikal dengan cara yang elegan, yaitu ceria dan laugh.

Hanya saja, Gus Baha mengingatkan, guyon dalam konteks ini harus berorientasi pada min sa’ati rahmatihi. Karena itu, dinamika hidup yang direspon dengan hati yang gundah-gulana, berarti melawan mempersembahkan Allah berupa sikap adlhak.

Gus Baha, lanjutkan: “Sebab itu, seseorang ruwetnya kaya apa, punya hutang misalnya, ya waktunya ketawa, harus ketawa. Demikian pula ketika menceritakan tragedi pertengkaran dengan isterinya. Waktunya bertemu teman, ya ketawa saja, ‘wah isteriku hebat, jioss… piring dibanting, kaca dipecah ‘, sekalipun ketika di rumah takut beneran. Sebab, adlhaka (ketawa) merupakan mempersembahkan Allah yang nafizah – muatsitirah “.

Berdasarkan hadis

Gus Baha mengutip hadis yang termaktub dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, karya Imam al-Ghazali. Rasulullah bersabda, “Sungguh, termasuk umat terbaikku adalah kaum yang tertawa keras (yadlhakuna jahran), karena percaya terhadap luasnya rahmat Allah (min sa’ati rahmatihi).

Berdasarkan hadis tersebut, lanjut Gus Baha, terlebih dahulu selalu bercanda, santai, rileks, guyon dan tertawa. “Ini semua mereka lakukan sebagai ekspresi atas kebahagiaan dan ridla terhadap pemberian Allah,” tuturnya.

Namun demikian, Gus Baha tidak menafikkan adanya potongan selanjutnya. Kalimat wa yabkuna sirran (menangis secara sembunyi), diinterpretasikan Gus Baha agar kita menangis pada malam hari ketika kita sedang ber-munajat pada Allah.

Derai dan linang air mata di kesunyian malam tersebut sebagai bentuk ekspresi rasa takut pada siksa Allah (khaufan min azabihi). Namun anehnya, perilaku orang-orang sekarang justru mempertontonkan sebaliknya.

“Jangan seperti perilaku orang-orang sekarang yang tampil sebaliknya. Mereka menangis di hadapan publik, namun ketika diberi uang, ia akan tertawa di kamar sendirian. Wahh…kalau begitu, orang ini bermasalah secara sanad. Ini tidak menyindir siapa-siapa ya… biasa saja,” sindir Gus Baha.

Berdasar tradisi sahabat

Menurut Gus Baha, sekalipun pernah terjadi konflik di era Sahabat Ali dengan Mu’awiyah, namun hebatnya tidak membuat para sahabat larut dalam kesedihan yang begitu mendalam. Mereka tetap bercanda ria, tertawa dan goyun.

Realitas ini pernyataan sahabat, “Yang paling aku sukai dari orang alim itu adalah ceria (thaliqin) dan banyak guyon (midlhakin)”. Berdasar tradisi tersebut, maka tugas kiai atau dai, harus tampil ceria dan tidak menakut-nakuti.

Berdasar tradisi tabi’in

Gus Baha menyatakan pendapat Ibnu Hajar al-‘Asqalani, bahwa, “senang itu adalah ibadah dan puncak keimanan adalah mansinya iman (halawatal iman)”.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *