3 Problem Akut Umat Islam: Ilmu, Harta, Tahta
HIDAYATUNA.COM – Pernah mendengar pernyataan “Larangan pemakaian cadar di lingkup Kampus UIN Sunan Kalijaga” dan “musuh terbesar pancasila adalah agama bukan kesukuan”?
Kira-kira begitulah sederet narasi kontroversial yang pernah lahir dari sosok Prof Drs KH Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D (selanjutnya: Yudian). Beliau sempat membuat publik memanas menuai pro kontra akan hal itu.
Jika hanya melihat sepintas dari permukaan narasi yang tampak tersebut, sangat berpotensi memunculkan kegaduhan. Tapi ketika kita mau menyelami lebih dalam samudera gagasan yang terlontar dari seorang Yudian, yang jelas kita akan manggut-manggut dibuatnya.
Dalam banyak kesempatan, Yudian yang saat itu sebagai rektor, sering kali menghadiri acara seminar atau sarasehan. Baik sebagai narasumber, keynote speaker, maupun sekedar memberi sambutan.
Paling mentereng dari setiap tutur katanya adalah sikapnya yang tegas dan kritis atas apa yang dianggap kurang etis dan perlu diperbaiki. Membeberkan cacat tafsir yang dilakukan para pengasong khilafah, dan bahkan hampir semua kesempatan menggunakan doa seperti ini;
اللهم علمنا اللغة والقلم والسؤال والجواب والعمل والنجاح، اللهم افتح لنا أبواب هرفارد وأبواب رزقك ومفاتيح كرسيك، اللهم افتح لنا أبواب إستانا واجعل أفئدة الناس تهوى إلينا، اللهم اجعلنا كوغلوميراة ووزيرا ورئيس الجمهور، واجعلنا للمتقين إماما.
Kurang lebih kalimat yang ditebalkan tersebut doa yang begitu mencolok dan kurang lebih begini artinya, “Ya Allah Bukakanlah kami pintu Harvard…. dan pintu-pintu istana (Istana Merdeka). Dan jadikanlah kami seorang konglomerat, menteri, dan presiden.”
Untuk saya yang baru mendengar doa seperti itu, sontak dalam hati berbicara, kok bisa ya berdoa seperti itu? Paling tidak inilah kesan pertama kala itu, dan maaf menganggapnya sangat duniawi sekali serta gila jabatan.
Lambat laun dikaburkan waktu yang semakin hari semakin kenal beliau melalui perjumpaan di berbagai seminar dan membaca karya-karyanya. Hal itu sedikit mengubur pandangan saya sebelumnya dan berbalik mengaguminya.
Sosok yang Berbeda
Yudian memang tidak seperti Syaikh Abdur Rauf as-Sinkili yang dikenal sebagai pelopor tafsir di nusantara. Syaikh Abdur Rauf dikenal dengan karya legendarisnya, Tarjuman al-Mustafid yang menggunakan Arab-pegon yang kala itu menjadi bahasa tren.
KH Shaleh Darat dengan Faidh al-Rahman fi Tafsir al-Quran-nya yang menggunakan Bahasa Jawa, dan KH. Abdul Sanusi dengan Raudhatul Irfan fi Ma’rifat al-Quran-nya yang berbahasa Sunda.
Kemudian Mahmud Yunus Tafsir al-Quran al-Karim, A. Hassan al-Furqan: Tafsir Alquran, Buya Hamka dengan Tafsir al-Azhar-nya. KH Mustofa Bisri Tafsir Ibriz, dan adiknya yang bernama KH Misbah Mustofa melahirkan Tafsir Iklil.
Dua beradik itu sama-sama menggunakan bahasa Jawa dalam karyanya, maupun seperti Quraish Shihab dengan Tafsir Misbah-nya dan beberapa tokoh lain yang tidak disebutkan.
Karya Prof Yudian
Meski tidak memiliki karya tulis berupa tafsir secara khusus seperti para mufassir dengan seperangkat karya tafsir sebagaimana di muka. Paling tidak Yudian tidak kalah keren menyandang profesor Islamic Studies di Tufts University, Medford, Massachussets, USA (2004-2005).
Selain itu, beliau merupakan Anggota American Association of University Professors (2005-2006), profesor filsafat hukum Islam (Falsafat al-Tasyri’ al-Islami) sejak 2008. Beliau juga memiliki 52 karya terjemahan buku filsafat dan keislaman.
Ke-52 karya tersebut diterjemahkan dari Bahasa Arab, Inggris, dan Prancis ke dalam Bahasa Indonesia, serta dari Inggris ke Arab. Bukan itu saja, ia telah menerbitkan lebih dari 20 buku yang terpublikasi skala nasional maupun internasional dan beragam tulisan lainnya.
Karya-karyanya tersebut bahkan pernah dipresentasikan di panggung akademik kelas dunia di lima dunia benua. Dari sekian banyak karya dan prestasinya, Yudian tidak luput memberikan ayat-ayat Alquran dalam setiap karyanya.
Tidak hanya mengutip dari tokoh ini dan itu, tapi juga turut andil memberikan penafsiran sesuai pemahaman yang dipahaminya sejak dari ia menuntut ilmu hingga sekarang.
Dengan demikian Yudian juga memiliki gaya dan corak penafsiran sendiri dalam mendedah ayat-ayat Alquran untuk menjawab problem realitas sosial kemasyarakatan sekarang ini.
Menafsirkan Ayat Kursi
Ada hal menarik dari salah satu penafsirannya yang perlu diketahui publik luas, yakni mengenai ayat kursi. Jika para mufassir terdahulu menafsirkan ayat kursi ini sebagai pemelihara dari gangguan-gangguan setan.
Ibnu Katsir juga menjelaskan dengan mendasarkan pada suatu hadis sebagai ayat teragung dalam kitabullah yang setara dengan seperempat Alquran. Bagi siapa saja yangmembacanya, maka doanya pasti dikabulkan Allah SWT., serta beragam faidah-faidah lainnya.
Berbeda dengan Yudian yang memiliki konsep penafsirannya sendiri. Baginya ayat kursi ini mengandung tauhid yang dapat melepaskan diri dari dosa syirik yang disadari atau tidak dapat hinggap pada diri seseorang.
Ayat kursi juga berbicara tentang “kekuasaan” sehingga dapat dijadikan media untuk kursi kekuasaan kepada Allah. Yudian Mengganggap hal tersebut merupakan penafsirannya sendiri berdasar dari pengalaman dan hasil pembacaannya terhadap aneka macam literatur sejak awal ia menuntut ilmu hingga sekarang (Opisman, 2021, hal. 113).
Doa tadi yang sering diutarakan dalam setiap kesempatan itu bagian dari rentetan majelis ayat kursi yang dibentuk sebagai amaliyah rutinan Tarekat Sunan Anbiya’ yang didirikannya.
“Tarekat eksistensialis positivis kontemporer,” begitulah kira-kira corak tarekat Sunan Anbiya’ yang ingin mengajarkan bekerja (beramal) setelah berdoa. Berupaya menghadirkan surga di dunia sebelum surga di akhirat kelak (ilmu, minta sampai ke Harvard. Rezeki minta jadi konglomerat, dan kursi/kekuasaan minta jabatan hingga menteri bahkan jika perlu jadi presiden).
Termasuk di dalamnya amalan yang dilakukan berupa majelis ayat kursi sebagai upaya tindak lanjut cara yang baik dan benar untuk mencapai segala tujuan tadi (Opisman, 2019, hal. 46). Intinya jangan malu dan berterus-teranglah pada Allah melalui doa yang kita panjatkan sesuai kebutuhan, bukankah ini juga firmanNya. (QS. Al-Mukmin: 60)
Ilmu, Harta dan Tahta
Bagi Yudian problem akut yang menjangkiti umat Islam sekarang adalah “ilmu, harta dan tahta” karena kurangnya ilmu dan pendidikan adalah kebodohan yang menjadi biang kemunduran peradaban. Kedua, Rendahnya kesadaran kerja untuk mencari kesejahteraan akan menuai kemiskinan karena kefakiran pun berpotensi mengarah kepada hal-hal buruk dan rentan memicu lahirnya kejahatan.
Rasul pun pernah mengingatkan kaada al-faqru an yakuuna kufran “Kefakiran itu dekat dengan kekufuran” ketika kemiskinan sedang menimpa, segala cara akan dilakukan agar terkabul apa yang dicitakannya. Bahkan dalam hal pindah agama sekalipun, orang akan rela meninggalkan aqidah yang lama dianut menuju agama baru yang lebih menjamin kehidupan ekonominya.
Terakhir, kecenderungan menjauhi kekuasaan (politik) mengakibatkan ketertindasan dari ketiganya harus kita pegang dan kuasai dengan terus belajar tinggi. Usaha sekeras mungkin pada bidang masing-masing, hingga dapat menjadi pemimpin sekaligus ulama sebagaimana ditunjukkan oleh Islam (Opisman, 2021, hal. 120). Ketika semua telah ditangan, ada hal lain yang perlu ditindaklanjuti, yaitu memanfaatkannya untuk kepentingan umum sebagai wujud ibadah kepada Allah.
Dari bapak Yudian saya belajar, dari beragam penafsiran atas pemahaman yang disampaikan bahwa Islam tidak harus dipahami secara terpisah yang melulu duniawi atau yang ukhrawi semata. Keduanya sekaligus dengan berorientasi meraih ilmu, harta, dan tahta dengan tetap berpegang teguh pada visi-misi Islam yang tidak memunggungi Alquran dan Sunnah.
Hal tersebut tentunya dalam rangka memanfaatkannya untuk kepentingan umum sebagai wujud ibadah kepada Allah. Sehingga tidak melulu menjadikan doa sebagai bentuk pelarian dari kegagalan.
Dengan demikian tercapailah surga di dunia sebelum menggapai surga di akhirat nantinya. Wallahu ‘alam bi al-shawab