2 Pendapat Sulitnya Berkhotbah
HIDAYATUNA.COM – Ada yang mengira apalah sulitnya berkhotbah atau berceramah. Tinggal berpakaian ala Ustaz atau Kiai lalu naik ke atas mimbar, kemudian bicara. Selesai. Tapi ketika ia diminta untuk menyampaikan pidato singkat, ia baru sadar bahwa berkhutbah atau berceramah tidak semudah dan sesederhana yang ia bayangkan.
Bukan hanya keberanian atau mental yang dibutuhkan, tapi juga persiapan ilmu dan bahan. Kemampuan public speaking yang memadai, dan yang lebih penting kondisi hati yang bersih dan jiwa yang stabil agar apa yang disampaikan ‘mengena’ di hati yang mendengar.
Sebagian orang mengira, apalah sulitnya mengatakan perbuatan A haram, perbuatan B wajib dan sebagainya. Bukankah ada Alquran dan Sunnah? Kenapa mesti dibuat ribet dan rumit?
Kita paham, sebagian orang ingin sesuatu yang sifatnya hitam-putih. Mereka ingin jawaban yang pasti-pasti saja. Mereka ingin sesuatu yang instan dan mudah dicerna.
Mereka tidak mau jawaban-jawaban yang banyak pilihan ; menurut si A begini, menurut si B begini. Otak mereka tidak terbiasa dengan hal-hal yang ‘rumit’ seperti itu.
***
Ini tentu wajar karena tidak setiap orang yang siap dan mau melibatkan diri dalam pembahasan-pembahasan yang menguras energi dan menyita pikiran. Hanya saja yang perlu disadari adalah pemahaman terhadap nash agama tidak sesederhana itu. Ia tidak mungkin seragam dan bersifat hitam-putih.
Ini kenapa dalam menjelaskan berbagai masalah, terutama di bidang fiqih, para ulama sering memulai dengan kalimat seperti :
فى المسألة قولان
“Dalam masalah ini ada dua pendapat.”
Bukan hanya menyebutkan ada dua pendapat atau lebih dalam satu masalah, mereka juga menggunakan berbagai istilah untuk menjelaskan potensi perbedaan pendapat dalam masalah yang sedang dibahas.
Dalam fiqih Syafi’iyyah misalnya, ada istilah-istilah seperti :
الوجه ، الأوجه ، الصحيح ، الأصح ، الظاهر ، الأظهر ، المشهور ، الأشهر
Dan masing-masing memiliki makna dan fungsi yang berbeda-beda.
Belum lagi penggunaan kata kerja yang bervariasi untuk menunjukkan keragaman pendapat dan kekuatan masing-masingnya seperti :
قال ، قيل ، حكى ، زعم ، روي ، نقل
Ini semua karena para ulama sangat menyadari dalamnya lautan keilmuan yang mereka selami dan beratnya amanah fatwa yang mereka pikul.
***
Dari sini muncullah kehati-hatian dalam menyampaikan sebuah masalah dengan cara menyampaikan berbagai pendapat yang beragam. Buah dari hal ini adalah tidak ada doktrinisasi. Hasilnya tidak ada fanatisme. Mereka tidak mengatakan, “Inilah pendapat yang paling benar yang tidak ada keraguan di dalamnya.”
Kerendahan hati dan keterbukaan terhadap berbagai pandangan ini yang kurang kita temukan pada sebagian ulama kontemporer.
Syekh al-Albani rahimahullah, misalnya, dalam berbagai bukunya, sering menuliskan kalimat-kalimat seperti di bawah ini untuk menyifati pendapatnya atau pendapat yang dipilihnya :
وَهُوَ الْحَقُّ الَّذِي لاَ رَيْبَ فِيْهِ
“Inilah kebenaran yang tidak lagi diragukan.”
وَهَذَا هُوَ الْحَقُّ الَّذِي لاَ شَكَّ فِيْهِ
“Inilah yang benar yang tidak lagi diragukan.”
وَهُوَ الْحَقُّ الَّذِي لاَ يَنْبَغِي الْعُدُوْلُ عَنْهُ
“Inilah kebenaran yang tidak semestinya berpaling darinya.”
Boleh jadi, doktrinisasi seperti ini yang memunculkan sikap fanatik sebagian orang terhadap beliau, walaupun beliau sendiri termasuk sosok yang memerangi ta’ashub dan taqlid.
***
Ini mengingatkan kita pada kisah yang terjadi pada Imam Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu.
Suatu ketika, setelah beliau menjelaskan sesuatu, ada yang bertanya padanya:
أَهَذَا هُوَ الْحَقُّ الَّذِي لاَ شَكَّ فِيْهِ ؟
“Apakah ini kebenaran yang tidak lagi diragukan?”
Dengan santai beliau menjawab:
وَقَدْ يَكُوْنُ الْبَاطِلَ الَّذِي لاَ شَكَّ فِيْهِ
“Boleh jadi saja ini kebatilan yang tidak lagi diragukan.”
Tentu saja, ungkapan fihi qaulan (ada dua pendapat), ini mesti lahir dari penguasaan yang baik terhadap masalah dan pembacaan yang luas terhadap berbagai referensi. Bukan sebagai cara untuk mengindar dari pertanyaan yang tidak sanggup dijawab.
***
Alkisah, seorang pemuda ingin sekali ayahnya menjadi seorang alim. Tapi ayahnya tidak pernah belajar dan mengaji. Namun ia tetap memaksa ayahnya untuk tampil layaknya seorang alim.
Untuk meyakinkan orang-orang yang akan datang ke majlisnya nanti, sang anak membekali ayahnya dengan sebuah ‘senjata’.
Sang anak berkata, “Kalau nanti ayah ditanya tentang sesuatu, dan ayah tak punya jawaban, maka cukup katakan: fihi qaulan.”
Sang ayah pun nurut.
Ketika sudah berada di majlis, ada yang bertanya:
“Wahai tuan guru, bagaimana cara membersihkan sesuatu yang terkena jilatan anjing?”
Dengan percaya diri yang dibuat-buat, ia menjawab: “Fihi qaulan…”.
Orang-orang yang mendengar jawaban itu mengangguk-angguk sambil berkata, “Benar juga. Masalah ini memang menjadi perbedaan pendapat antara mazhab Syafi’iyyah dan Malikiyyah.”
Beberapa saat kemudian ada lagi yang bertanya, “Wahai tuan guru, apakah khabar setelah huruf ما di-rafa’kan atau di-nashabkan?”
Dengan penuh percaya diri ia menjawab, “Fihi qaulan…”.
Orang-orang pun menangguk-angguk dan berkata, “Benar juga, karena masalah ini memang menjadi titik perbedaan antara kalangan Hijaziyyun dan Tamimiyyun.”
***
Seorang laki-laki yang hadir di majlis itu mulai merasa ada yang ganjil. Setiap kali ditanya, si tuan guru hanya menjawab: fihi qaulan.
Laki-laki ini pun maju dan mengajukan satu pertanyaan singkat:
أفى الله شك؟
“Apakah ada keraguan tentang Allah?”
Tanpa ragu tuan guru pun segera menjawab: “Fihi qaulan…”.
Tentu saja orang-orang yang hadir kaget dengan jawaban ‘nyeleneh’ tersebut.
Tiba-tiba puteranya datang. Ia segera membela ayahnya: “Memang ada dua pendapat ; pendapat orang beriman yang mengatakan tidak ada keraguan tentang Allah, dan pendapat orang kafir yang mengatakan ada keraguan tentang Allah.”