19 Ramadan Menjemput Syahadah
HIDAYATUNA.COM – “Hukum Itu Milik Allah Wahai Ali, Bukan Milikmu dan Sahabatmu” Setelah kekalahan kaum Khawarij pada Perang Nahrawan, tiga orang dari mereka yaitu; Abdurrahman bin Muljam, Barak bin Abdillah at-Tamimi dan Amr bin Bukair at-Tamimi, berkumpul di Mekah.
Setelah berkonsultasi mereka merencanakan bahwa pada saat yang sama, mereka akan membunuh Imam Ali, Muawiyah dan Amru bin ‘Ash. Abdurrahman bin Muljam, ditugaskan menangani pembunuhan Imam Ali dan datang ke Kufah bertemu dengan pendukung Khawarijnya.
Padahal Ibnu Muljam yang berbaiat kepada Imam Ali setelah beliau menduduki kursi kekhalifahan, dalam Perang Jamal ia juga berperang di sisi Ali. Setelah Perang Shiffin dan akhir dari perundingan (hakamiat), ia bergabung dengan kelompok Khawarij.
Dia dalam Perang Nahrawan berperang melawan Imam Ali dan termasuk dari bilangan orang-orang yang terselamatkan dari perang tersebut kemudian ia bertemu dengan seorang wanita berwajah cantik bernama Qatham, putri Syajnah bin Adi. Ia pun jatuh cinta dengan gadis tersebut dan langsung melamarnya.
Qatham binti Syajnah bin ‘Ady adalah seorang perempuan asal Kufah yang memiliki peran penting dalam terbunuhnya Imam Ali oleh Ibnu Muljam. Saudara dan ayahnya terbunuh pada Perang Nahrawan di tangan Imam Ali.
Ia memberi syarat, bahwa jika Ibnu Muljam bisa membunuh Imam Ali,maka ia siap dinikahi olehnya. Qatham terkenal dengan kecantikannya, dan Ibnu Muljam tertarik dengan tawaran itu. Meski demikian sebagian ahli sejarah menyebutkan kisah cinta Qatham dan Ibnu Muljam hanyalah fiktif belaka.
Nama Ibnu Muljam sebenarnya sudah lama dikenal oleh keluarga Nabi. Suatu kali Kumayl bin Ziyad, sahabat dekat dan penyimpan rahasia Imam Ali, pernah menemani beliau menelusuri lorong-lorong Kufah di malam hari Di tengah perjalanan, terdengar suara lantunan ayat Alquran dari masjid.
Kumayl berkata, “Ya Amirul Mu’minin, alangkah merdunya suara itu.” Imam Ali menimpali, “Ya Kumayl, itulah suara orang (Abdurrahman bin Muljam) yang akan menebas pedangnya ke kepalaku di saat aku sedang salat subuh.”
Namun Imam Ali sadar bahwa tak ada hukum yang bisa dilakukan untuk kejahatan yang belum dikerjakan Malam 19 Ramadan itu, dalam perjalanan menuju Masjid Kufah, Imam Ali beberapa kali menengok ke langit.
Setibanya di mesjid Kufah, beliau mendapati Ibnu Muljam tidur telungkup. Beliau pun menasehatinya: “Innas sholata tanha ‘anil fahsyai wal munkar. Sesungguhnya salat mencegah perbuatan fasik dan munkar.” Namun yang disapa dan dinasehati membatu, tak kunjung beranjak.
Lalu Imam Ali berkata lirih: “Kau sepertinya bertekad mengerjakan sesuatu yang sangat berbahaya, sangat mengerikan. Kalau aku mau, akan kuceritakan padamu apa yang ada di balik bajumu itu.”
Imam Ali tahu di balik baju Ibnu Muljam, semoga Allah SWT mengutuknya, tersimpan pedang beracun. Tapi beliau tak mempedulikannya untuk sebuah alasan yang belum pernah didengar dunia.
Setelah azan subuh tanggal 19 Ramadan berkumandang, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kembali keluar masjid, dan menengok ke fajar yang menyingsing. Kemudian dengan suara parau, beliau mengucapkan selamat berpisah kepada fajar.
”Wahai Fajar.. sepanjang kehidupan Ali.. Pernahkah engkau muncul dan mendapatkannya tertidur ??”.
Di mihrab, Imam Ali memulai salatnya seorang diri. Ibnu Muljam, tahu persis betapa Ali tak pernah mempedulikan apapun saat salat. Dia kemudian datang mendekat. Dan dari depan, dia mulai mengayunkan pukulan ke kepala Imam Ali, tepat saat beliau ingin bangun dari sujud partamanya.
Darah lalu mengucur deras. Dahi Imam Ali koyak Janggutnya meneteskan darah. Tapi tak ada erangan dari mulut beliau, justru pujian pada Tuhan;“Bismillah, wa billah wa ‘ala millati Rasulillah…” Ibnu Muljam berkata: Hukum milik Allah wahai Ali, bukan milikmu dan milik sahabatmu.
Dengan suara melengking, Imam Ali kemudian berteriak: “Fuztu wa Rabbil Ka’bah…Demi Tuhan Ka’bah, sungguh aku telah berjaya.” Lalu Ibnu Muljam keluar dari Masjid meninggalkan Imam Ali.
Seiring dengan suara Imam Ali, seluruh penduduk Kufah mendengar gelegar suara keras Jibril yang mengabarkan berita duka itu, hingga semua warga berhamburan keluar rumah untuk menuju masjid jami Kufah.
Yang pertama datang menyaksikan Imam Ali bercucuran darah adalah putra sulungnya, Imam Hasan. Beliau menuturkan bahwa Imam Ali terus berusaha melengkapi rangkaian salatnya sambil duduk. Badannya menggigil.
Setelah salam, beliau mengusapkan tanah sujud ke dahinya yang merekah sembari mengucapkan firman Allah dalam surat Thaha ayat 55: “Dari tanah, kalian Kami ciptakan, dari tanah pula kalian Kami kembalikan dan bangkitkan.”
Semua kejadian disaksikan oleh seluruh putranya, terutama Imam Hasan yang tak kuasa menahan airmata. Imam Ali meminta Imam Hasan untuk mengimami jamaah salat subuh. Beliau mengikuti dari belakang dengan gerakan isyarat sambil terus membersihkan cucuran darah dari kening sucinya.
Seusai salat, Imam Hasan kemudian meletakkan kepala ayahnya di pangkuannya untuk membersihkan darah yang tak berhenti mengucur. Tak lama berselang, Imam Ali pingsan dalam pelukan Imam Hasan. Jerit tangis membahana ke seluruh arah. Imam Hasan pun langsung menciumi wajah ayahnya.
demikian pula putra-putra Imam yang lain. Derasnya airmata Imam Hasan, menyadarkan Imam Ali. Beliau pun langsung bertanya: “Anakku Hasan, untuk apa tangisan ini? Jangan bersedih atas keadaan ayahmu.
Apakah kau bersedih atas keadaanku padahal esok kau akan dibunuh dengan cara diracun dan adikmu Husein akan dibunuh dengan tebasan pedang. Lantas kalian semua akan menyusulku bersama kakek dan ibu kalian.”
Setelah kekacauan terjadi, salah seorang di antara khalayak belakangan masuk membawa Ibnu Muljam. Orang curiga dia lari menjauh dari mesjid dengan pedang berlumur darah sementara seluruh penduduk justru menuju masjid.
Kematian telah mendekati Imam Ali. Rekahan di dahinya begitu dalam. Tapi musibah itu tak merusak karakter keadilan yang larut dalam darah dan dagingnya. Beliau melarang orang membalas pada Ibnu Muljam.
“Aku tahu engkau akan membunuhku, Pasti… Tapi sesungguhnya aku masih berharap pada Allah, adanya perubahan pada diri dan nasibmu.” Ibnu Muljam tak kuasa mendengar kalimat setinggi itu. Dia pun menangis.
Ibnu Muljam : “Ya Amirul Mukminin, afa anta tunqidzhu man finnaar (apakah engkau bisa menolong orang yang sudah masuk neraka)?”.
Imam Ali menjawab dengan memerintahkan anak-anaknya mencari susu. Beliau kehausan dan meminta mereka mempersilahkan Ibnu Muljam meminumnya lebih dahulu, sedangkan Imam meminum sisanya.
Imam berpesan, “Wahai, putra2 Abdul Muthalib sesungguhnya aku tidak ingin melihat kalian menumpahkan darah kaum Muslimin sambil berteriak “Amirul Mukminin telah dibunuh!” Ingatlah, jangan membunuh dengan alasan kematianku, kecuali atas pembunuhku. Tungulah hinga aku mati oleh pukulan ini.
Kemudian pukullah dia dengan satu pukulan dan jangan rusakkan anggota-anggota badannya, karena aku telah mendengar Rasulullah saw berkata, “Jauhkan memotong-motong anggota badan sekalipun terhadap anjing gila!”.
Source: Sayid Machmoed BSA